Mengukur Validitas Penilaian Ergonomi dalam Proses Non-Rutin- Temuan 2025

Mengukur Validitas Penilaian Ergonomi dalam Proses Non-Rutin: Temuan 2025

Oktober 2025 – Studi terbaru di bidang ergonomi industri menyoroti tantangan penting dalam mengukur risiko ergonomi pada proses kerja non-rutin, seperti aktivitas perawatan, perbaikan, atau situasi darurat di tempat kerja. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa metode penilaian berbasis tugas (task-based ergonomic assessment) yang selama ini umum digunakan, cenderung meremehkan potensi risiko pada pekerjaan yang tidak terstruktur dan berubah-ubah.


Mengapa Penilaian Konvensional Kurang Akurat

Selama ini, banyak perusahaan mengandalkan metode seperti REBA (Rapid Entire Body Assessment) atau RULA (Rapid Upper Limb Assessment) yang berfokus pada tugas rutin dengan langkah kerja yang konsisten. Namun, proses non-rutin memiliki karakteristik yang berbeda:

  • Langkah kerja tidak selalu sama setiap kali dilakukan,
  • Posisi tubuh bisa berubah drastis sesuai kondisi lapangan,
  • Durasi dan frekuensi kerja sulit diprediksi,
  • Faktor lingkungan (pencahayaan, suhu, ruang gerak) sering tidak terkendali.

Akibatnya, ketika penilaian ergonomi hanya mengandalkan pendekatan berbasis tugas yang statis, nilai risiko sering kali lebih rendah dari kondisi nyata, menimbulkan false sense of safety bagi perusahaan.


Temuan Studi 2025: Kebutuhan Validitas yang Lebih Tinggi

Penelitian lintas industri yang dilakukan oleh tim ergonomi internasional pada tahun 2025 menemukan bahwa:

  • 78% penilaian ergonomi task-based tidak menangkap variasi gerakan tubuh dalam proses non-rutin,
  • 60% hasil pengukuran risiko berbeda signifikan ketika dibandingkan dengan metode observasi langsung,
  • Penggunaan sensor gerak dan wearable device memberikan hasil yang lebih konsisten dan valid.

Dengan kata lain, validitas metode tradisional menurun dalam konteks pekerjaan dinamis dan tidak terstruktur.


Implikasi Praktis bagi Dunia Kerja

Hasil ini membawa implikasi penting bagi perusahaan yang menerapkan program K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja):

  1. Evaluasi ulang metode penilaian ergonomi. Perusahaan perlu memastikan bahwa pendekatan yang digunakan mampu merepresentasikan aktivitas nyata, bukan hanya prosedur standar.
  2. Pelatihan untuk observer ergonomi. Petugas yang melakukan penilaian perlu dilatih mengenali tanda-tanda kelelahan, postur tidak stabil, serta faktor psikosocial yang mungkin muncul dalam proses non-rutin.
  3. Integrasi dengan manajemen risiko. Hasil penilaian ergonomi harus dikaitkan dengan sistem manajemen risiko kerja agar temuan lapangan langsung berdampak pada kebijakan pencegahan.

Menuju Pendekatan Multi-Metode dan Pengukuran Langsung

Para peneliti merekomendasikan adopsi pendekatan multi-metode untuk meningkatkan validitas penilaian, meliputi:

  • Kombinasi observasi langsung dan sensor biomekanik, seperti accelerometer, IMU, atau motion capture portable,
  • Pencatatan video dan analisis postur dinamis, untuk mendeteksi variasi beban dan gerakan,
  • Kuesioner subjektif pekerja, untuk mengukur persepsi kelelahan dan tekanan mental,
  • Analisis temporal, guna memahami seberapa sering dan berapa lama postur berisiko terjadi dalam proses kerja.

Pendekatan ini memungkinkan triangulasi data – memadukan hasil dari berbagai metode untuk mendapatkan gambaran risiko yang lebih utuh dan terpercaya.


Kesimpulan

Penilaian ergonomi tidak lagi bisa mengandalkan model berbasis tugas semata. Dunia kerja modern, terutama yang melibatkan aktivitas non-rutin, menuntut alat ukur yang lebih fleksibel, kontekstual, dan berbasis data real-time.

Perusahaan yang mampu mengintegrasikan teknologi pengukuran langsung dengan analisis manusiawi akan lebih siap menciptakan lingkungan kerja yang sehat, adaptif, dan berkelanjutan.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *